0
Panas terik serasa membakar kulit. Udara pagi Semarang memaksaZahra menyeka keringatnya yang besar-besar bak biji jagung dengan tisu putih. Dilihatnya peserta tes Ujian Kemampuan Awal (UKA) berjibun, dari penjuru Jateng. Barisan berkostum hitam putih, duduk berjejer siap berjibaku.Ruangan yang di desain bak stadion olah raga yang elok nan artistik, kini penuh oleh lautan manusia, bak gelombang air bah, membludak dan penuh sesak.

Bising. Ocehan bersahut-sahutan bak grup paduan suara sedang beraksi mempertontonkan olah vokalnya. Sayangnya, grup ini mempresentasikan talentanya tanpa irama yang pas, hingga menyisakan rasa jengah, resah dan gerah.

Acara inti tes UKA, sudah molor hampir satu jam. Artinya, peserta harus merelakan berlama-lama menikmati hawa panas plus aroma parfum alami yang prengus bak bau wedhus, serta produk parfum pabrik dari berbagai merek yang baunya mengguncang dunia. Cuaca panas memantik peserta berlomba menjadi pemenang. Event ini sudah lama ditungguoleh sebagian peserta yang sudah sepuh.
Zahra yang berperawakan kecil dan berkulit hitam menebar senyum pada sampingkiri kanannya. Selang beberapa baris, nampak lelaki berkepala botak, bertubuh gemuk dengan wajah bulat,kulitnya sawo matang tengahduduk berkacamata tebal.Mata kanannyaterpejam. Hanya sedikit sembulan yang  menonjol dari balik kaca mata minusnya.Zahraterusik pada lelaki yang tengah membacalatihan soal ujian dengan jarak pandang dekat sekali, bukunya nyaris berhimpitan dengan bulu matanya.Sungguh tidak normal. Ekstrim dekat. Melihat aktivitas membacanya, bulu kuduk Zahra berdiri seketika.”Pasti ada sesuatu dengan matanya” desisnya.

“Wach, kasihan lelaki itu,kaca matanya tebal amat!”jiwanyabergidik, hatinya terketuk. “Bagaimanadia yang seorang guru denganseabregtanggungjawab bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik?”Zahra tidak habis pikir. ”Mampukah dia menyelesaikan 100 soal dengan kondisi seperti itu di aula ini?”Kasihan sekali orang ini!Jiwanya berguncang keras selaksa ada gempa ”Minus berapa dia?”desisnya.

Percikan ingatanZahra kini melayangkesaudaranya dikota Lumpia, dia kehilangan mata kanannya karena ulah kakaknya.Tak disangka, permainan jotos-jotosan dengan kakak lelakinya mengakibatkan cidera. Dia mengalami putus saraf di mata kanannya, tatkala berusia 9 tahun.
Betapa kecewa hati kedua orang tuanya, dunia gelap, bumi runtuh. Ketika mengetahui buah hatinya harus merelakan mata kanannya diambil dan diganti dengan mata buatan.Kini, Sarjana Hukum yang bermata palsu tinggal di rumah menemani ayahandanya. Lelaki jangkung nan ganteng  di masa mudanya, hanya menghabiskan harinya dengan aktivitas di rumah.
Pertemuan terakhir dengannya tahun 2012 silam,menyisakan  iba.Zahra terkesiap. Mata kanan saudaranya, mengeluarkan kotoran putih yang lumayan banyak secara terus menerus. Orang Jawa bilang, namanya ”lodok”. Kasihan dia, mata kanannya tidak berfungsi sama sekali.Hanya kata itu yang keluar tiap kali bertemu.
***

Panas masih membara di bumi Semarang, seiring bel keras yangmengagetkan. Lamunannya tentang saudaranya hilang seketika. Bel juga berarti, pertarungan menjawab 100 soal dimulai. Hadirin berkonsentrasi dengan tugasnya, berjuang sampai titik darah penghabisan. Di benaknya, terlecut nyali untuk lulus dalam ujian.

Saat mentari pas berada di kepalanya, acara purna. Panas terik khas kota Semarang begitu menggelegak meluap panas tak terkira.Peserta berhamburan ke luar ruangan dari berbagai sudut ruangdemi menghirup udara segar dan melepas penat. Zahra dan rombongan melanjutkan wisata religi ke Masjid Agung Jawa Tengah untuk menunaikan Shalat Dhuhurdan makan siang rame-rame.
***
Suasana lebaran sepekan yang lalu masih menyelimuti hati Zahra. Saat itu, tanggal 27 Agustus sampai 4 Septembar 2012, Zahra mengikuti pelatihan selama 9 hari di hotel Candi Indah. Dia digembleng untuk memperoleh predikat “Guru Profesional.” Acara ini merupakan tindak lanjut dari tes UKA. Materiyang beraneka ragam dari pembicara ia ikuti dengan suka cita.Di kelasnya, Allah mempertemukan Zahra dengan teman sewaktu tes yang berkaca mata super tebal.
”Mbak,  punya materi reproduksi menurut Al-Qur’an?” Zaen Mustafa nama temannya yang berkaca mata tebal menyapanya dengan sangat sopan. Dia begitu bersemangat mengumpulkan materi tambahan sebagai oleh-oleh  pulang,katanya.
“Ya,ada apa?Aku punya dua versi” jawab Zahra dengan nada iba sekaligus bangga. Jarang orang bersemangat sepertinya. Itulah kelebihannya, walau terbatas penglihatannya tapi semangatnya luar biasabak api unggun sedang menyala.
“Boleh aku memintanya, Mbak?”
“Tentu saja teman, sesama saudaraharus saling membantu, mengingatkan dan menguatkan agar dapat berdiri kokoh.
“Masih ingat aku?Aku ingat kau itu Zahra yang bersuara emas kuliah di Salatiga.  Kita dari satu almameter, namun beda angkatan” Zaen menambahkan.
 “O ya,maaf , saya lupa mungkin sudah tua dan kebanyakan makan brutu”, sambil tertawa Zahra menimpali sekenanya. Padahal Zahra benar-benar lupa.
“Mbak, sebenarnya, aku iri, aku ingin seperti mereka, ingin belajar laptop, power point, menulis dan sebagainya, tapiaku takut dengan mataku.”
“Memangnya ada apa dengan matamu,Zaen?” Kini dia terdiam, ada kabut hitam menggantung tebal. Semuanya nampak jelas dari raut wajahnya yang bulat.
“Beberapa tahun yang lalu, (dia tidak menyebutkan tahun yang pasti, dan Zahra juga tidak menanyakannya) aku naik sepeda motor, sebab ada suatu urusan. Sepanjang perjalanan, aku merasa tegang, gatal dan lelah sekali. Hingga, mataku terasa sakit yang luar biasa” kali ini Zahra memandang ekspresi Zaen.
“Dua hari aku di rumah untuk istirahat. Pihak Puskesmas merujukku ke RS Kariadi untuk melanjutkan pengobatanku.Tak kusangka, aku harus menjalani operasi selama kali.”Deg!hati Zahra  berdegup sangat keras. Suara Zaen terdengar melemah
“Hasil diagnosa dokter menyatakan, syaraf mata kiriku putus. Otomatis, mata kiriku tidak bisa melihat sejak saat itu. Kini, aku hanya punya satu mata, itupun minus 20, Mbak.Sehingga jarak pandangku sangat dekat. Mbak tahu, ketika para pembicara mempresentasikanmateri via power point,walau aku duduk di baris pertama, aku tidak bisa mambaca layar LCD.Aku hanya mendengarkan saja semua ucapannya.”
“ Waduh, ternyata betul, itu mata memang lain. Minusnya banyak sekali, kasihan dia. Walau demikian dia tetap bersyukur dan selalu berusaha untuk maju, meski tentunyabeda dengan yang bermata normal”Zahra  berdesis.
“Kalau aku paksakan untuk belajar laptop, takutnya, mata kananku akan bernasib sama dengan mata kiriku, sehingga kuurungkan.” lanjutnya dengan bersedih.
“Sabar dan syukur, teman!Semuamanusia diuji oleh-Nya.”
”Ya, Mbak, kita memang harus selalu bersyukur. Ibarat wayang, kita adalah lakonnya, kita ikuti saja sutradara tunggal kita Allah SWT, yang penting kita selalu optimis dan husnudhon pada-Nya.” Di balik ujian pasti ada hikmah yang tertanam.
Pelatihan tuntas sudah, membawa kenangan indah.  Mata itu mengingatkan akan pentingnya indra ciptaan Illahi. Dia pelita dalam kegelapan, mataku matahariku.

*) Umi Basiroh, M.Ag
GPAI SMPN 5 Ambarawa

Post a Comment

 
Top