0
GALAU
(Cerpen Karya : Ida Bachrun)


“Bangun, Bunda….., bangun… tahajjud !. Bangun, Bunda…., bangun…tahajjud!” suara   alarm HP memanggil-mangil,  tepat pukul tiga malam. Walau badan terasa kaku-kaku, Bunda Tamara mengangkat tubuhnya menuju kamar mandi tuk menggosok gigi dan mengambil air wudu.
Di atas sajadah, ia tempelkan keningnya berlama-lama. Pada pukul tiga malam itu Bunda Tamara merasakan kekhitmatan  berdialog dengan kekasihnya, Dzat Yang Mahakasih. Dalam sujud terakhir ia mendoakan putra-putrinya yang sudah berkeluarga maupun yang masih kuliah. Dalam sujud terakhir berikutnya, ia mendoakan  almarhum suaminya yang sudah pulang ke rahmatullah beberapa tahun lalu. Pada  sujud terakhir berikutnya lagi, ia mendoakan kedua orangtuanya, sahabat-sahabatnya, dan mendoakan SMP Antah Berantah, sekolah  tempat ia menerima amanah sebagai pimpinan.

Pada sujud paling akhir, Bunda Tamara  mendoa, “Ya, Robbi, baguskanlah hati dan akhlak hamba, hati dan akhlak teman-teman hamba,  juga anak didik hamba. Beningkanlah hati mereka yang masih keruh sehingga menjadi hati yang bersih dan berkilau. Baguskanlah pula prestasi hamba, teman-teman hamba, dan anak didik hamba.” Itulah doa rutin yang ia lantunkan di rakaat ke sebelas dalam tahajjudnya.
*****
Bapak Anggota Dewan, Di SMP Antah Berantah  menjual  buku-buku latihan, mengapa dibiarkan saja?
Sebuah SMS  ditulis orang tak beridentitas, memojokkan Bunda Tamara. Kalimat yang ditulis   oleh manusia yang (mungkin) berhati keruh itu,  membuat Bunda Tamara sangat galau. Karena SMS tersebut,  Bunda Tamara mendapat teguran dari atasan.
“Ambil hikmahnya saja, tidak perlu galau yang berlarut-larut…,” hibur Pak Luya, sahabatnya, melihat Bunda Tamara tampak resah, tak nyaman dalam segala gerakan.

“ Saya memang bersalah, tapi ini demi prestasi mereka…”
“Ya, saya tahu maksud Ibu baik, tapi regulasinya sudah begitu, tidak diperkenankan mengelola/menjual  buku di sekolah,  “ kata Pak Luya.
“Justru yang saya sayangkan, mengapa regulasi itu terkesan membelenggu kreativitas…,  membelenggu kemajuan siswa. Siswa yang cerdas dan  kreatif, pasti ingin ada beberapa buku yang mendampinginya. Belum lagi kalau ada guru yang tiba-tiba sakit, buku-buku latihan itu bisa menggantikan ketidak hadiran guru. ” ucap Bu Tamara berapi-api. Pak Luya diam, mungkin diam-diam membenarkan ucapan Bu Tamara.

“ Kemarin dua orang guru saya pergi haji, buku-buku latihan itu sangat membantu siswa mengisi kekosongan mereka selama hampir dua bulan,” tambah Bu Tamara.
“Kan ada guru piket, bisa menggantikan mengajar? “ tanya Pak Luya.
“Walah, Pak, rata-rata guru mengajar tiga puluh jam seminggu, hampir tidak ada waktu untuk piket. Andai ada, mereka hanya siap menunggui tetapi  tugas-tugas harus sudah disiapkan.”
“ Kan bisa minta tugas sesama guru mapel?”

“Bisa juga begitu, tapi rata-rata  mereka mementingkan kewajibannya  dulu, masuk dan mengajar di kelas, baru memikirkan yang lain. Nah, berarti ada kelas yang bermenit- menit  tertunda pembelajarannya. Namun, bila buku-buku latihan itu ada, guru piket  tinggal memerintahkan siswa untuk mengerjakan soal-soal yang sudah disiapkan.”

*****
Di keheningan malam Bu Tamara kembali menumpahkan kegalauannya kepada Sang Penerima Kegalauan. “Robbi, hamba ingin meningkatkan prestasi anak didik hamba. SDM mereka rata-rata masih kurang. Apa yang harus hamba lakukan? Berilah solusi terbaik agar upaya kami memintarkan anak didik kami, membuahkan hasil yang sebaik-baiknya,” doanya, diiringi serangan rasa mengantuk yang bertubi-tubi. Desahan doa itu pun makin lama makin menghilang.

Antara percaya dan tidak, sosok yang amat sangat dikenal itu menebarkan senyum khas ke Bunda Tamara.
“Ibu Tamara, kan?” tanya sosok tersebut sambil menyodorkan jabat tangan.
“Bebb…betul. Bapak…”
“Gak usah gugup, Bu, santai saja….”
“I…iya, Pak, tapi saya tidak percaya Bapak datang ke gubuk saya.”
“Kalau Tuhan menghendaki, apapun bisa terjadi, kan, Bu?”
“Betul, Pak. Terima kasih sekali. Silakan duduk, Pak…!” Bu Tamara memberikan kursi kepada tamu tersebut.
“Begini, Bu, kedatangan saya ke sini, ingin memberikan kabar gembira kepada Ibu. Saya akan menghapus peraturan-peraturan yang diperkirakan  akan menghambat kemajuan sekolah. Mulai saat ini, sekolah bebas mengelola buku-buku tambahan selain buku paket. Seragam sekolah pun boleh dikelola asal harganya tidak lebih mahal daripada harga pada umumnya. Saya ingatkan pula, anak-anak yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran, alias gratis. Sebagian laba dari penjualan itu untuk nggratisi anak tidak mampu.”

“Bee…benarkah, itu, Pak? Bapak menjawab kegalaun saya, Bapak kok tahu kalau hati saya sedang galau? “
“Ya, benar to…? Masak saya bohong. Saya tahu Ibu sedang galau, karena saya pintar membaca perasaan, he…he…! “ ucap bapak tersebut bercanda.
“Bapak ini, kok  masih suka bercanda….?”
“Lha, iya to, walau jadi presiden bukan berarti tidak boleh bercanda. Sudah, ya, Bu? Ibu tidak galau lagi, kan?

“Alhamdulillah, Pak. Terima kasih sekali. Kami bekerja menjadi lebih nyaman dan tentram.”
“Ya. Pesan saya,  jadilah kepala sekolah yang baik dan amanah, ya?”
“Siap, Pak!”, sambut Bunda Tamara bersemangat.
“Oke, Bu, saya pamit… Assalamualaikum…!”
“Waalaikum salam, lho…Pak…Pak Jokowi….Pak Jokowi…. Aduh, belum saya buatkan teh…!” yang dipanggil-panggil  tetap berjalan diiringi ajudannya.
“Pak Jokowi….. Pak Jokowi….Pak….!!!!”

Thok…thokkk…!!!!! Ada suara mengetuk pintu kamar Bunda Tamara.
“Ibu…, Ibu kenapa memanggil Pak Jokowi? Mimpi, ya?” tanya putri Bunda Tamara.
“Astaghfirullaahal azim…., ya, saya mimpi.”
“ Sudah azan subuh kok , Bu. Ibu salat dulu saja…! “ ucap putri  Bunda Tamara sambil mengamati wajah bundanya, lalu menutup pintu kamar kembali.
*****

Catatan : Penulis adalah guru SMPN4 Ungaran

Post a Comment

 
Top