0
   “Brakk!” suara pintu tua yang dibanting oleh tangan Elly mengagetkanku. Tak biasanya Elly bersikap seperti itu, bahkan ini pertama kalinya. Elly menghempaskan badannya ke kasur berseprai pink yang hanya satu-satunya dan berlubang di sana sini.
“Hufftt, aku harus tenang” Elly bergumam. Entah apa yang terjadi, akupun bingung dan tak bisa apa-apa hanya berada di pojok ruangan kamar Elly.
“Ana apa to, Nduk?” Suara Ayah Elly yang tetap terdengar gagah meskipun tubuhnya yang mulai tua tak segagah dulu.

“Eh, mboten napa-napa Pak”, Elly berusaha menutupi kegelisahannya.
    Elly tinggal bersama kedua adik dan ayahnya. Ibunya telah meninggal saat melahirkan adik bungsunya. Saat itu Elly masih duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Namun sampai saat inipun setiap malam aku melihat Elly selalu menangis, sambil memeluk foto ibunya. Tak jarang aku mendengar Elly berucap     “Ibu, apa yang harus Elly lakukan”, kemudian Elly terlelap dan bangun pukul setengah tiga pagi, selalu seperti itu. Angin pagi berhembus begitu dingin. Namun, Elly tetap bangun, beranjak dari dipan usangnya dan berjalan perlahan menuju kamar mandi. Sebenarnya, ruangan kecil itu tak layak disebut kamar mandi. Ruangan itu berada di luar rumah. Dinding dari papan itu mungkin akan roboh jika ada angin kencang yang bertiup. Tak ada bak air, apalagi shower atau bathtube. Hanya sebuah ember yang terisi air dari pancuran kecil yang terhubung dengan mata air digunung. “Brr, dingin” gumam Elly. Dia berwudhu, kemudian sholat malam dan kembali menangis. Aku yang dari dulu menemaninya serasa ingin memeluknya  dan berkata “Tenang Elly, ada aku disini bersamamu” tapi aku tak bisa. Hanya bisa melihat dari sini, dari sudut yang sama.
    Elly melirik jam yang terpasang di dinding papan kamarnya. “sudah jam tiga” batin Elly. Dia melepas mukena peninggalan ibunya dan menuju ke dapur. Dapur yang hanya berisi beberapa perlengkapan memasak yang telah usang dan satu tungku untuk memasak. Setiap pagi Elly bangun lebih awal, menyiapkan makanan untuk kedua adik dan ayahnya. Adzan Subuh sayup sayup terdengar, sayur kangkung yang dipetiknya di sawah kemarin juga sudah matang.
“Nduk, ayo subuhan dulu” panggil ayah Elly
“Adik-adikmu dibangunin” lanjut ayahnya. Elly mematikan tungku, membangunkan Dany dan Tina. Mereka sholat subuh berjamaah di rumah karena rumah mereka jauh dari masjid. Kemudian mereka sarapan. Hanya tikar bambu yang menjadi alas duduk ketika mereka makan.
“Tina nggak usah makan, buat Kak Dany aja” canda Dany.
“Walah, aku nanti kelaparan kakak” jawab Tina.

“Bercanda adikku sayang” Dany mencubit pipi adiknya yang chubby itu. Canda tawa kedua adiknya membuat Elly sejenak melupakan kegelisahannya. Tak terasa sinar matahari telah muncul, Elly mengantar kedua adiknya ke sekolah. Kemudian dia berjalan lunglai menuju sekolah. Tak seperti biasanya yang selalu ceria dan riang.
Elly teringat dua tahun lalu, saat Elly baru saja masuk SMP.
Gedung yang begitu megah di mata Elly, telah berdiri kokoh di depannya. Dengan percaya diri, Elly melangkah memasuki gerbang yang di sana terpasang spanduk bertuliskan “Selamat Datang Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2010/2011 di SMP Nusa Bangsa”. Butir-butir air menetes dari matanya yang sedari tadi berbinar. Elly melambatkan langkahnya, berjalan menuju kelas barunya, kelas VII E sambil berucap pelan “Akhirnya aku masih bisa sekolah” Elly sangat beruntung karena prestasinya semasa duduk di bangku sekolah dasar, dia mendapat beasiswa di SMP elite di kecamatannya. Kenangan dua tahun lalu yang tak akan terlupakan.

“Wooy! bocah kampung!” teriak seorang anak perempuan seumuran Elly berambut hitam panjang yang terurai. Lamunan Elly buyar, kemudian menoleh ke belakang. Ternyata Siska dan gengnya telah berdiri di belakang Elly
“Denger-denger kamu kemarin dipanggil guru BK ya? Abis nyolong apa kamu?” ejek Siska, diikuti suara tawa dari teman-teman Siska. Elly mulai bosan dengan semua ejekan dari teman-temannya di sekolah. Elly tak mau berpikir pusing soal itu.
“Apa yang salah dengan orang miskin yang bersekolah disini? Aku juga punya hak” Pikir Elly.
“Hey, kalian jangan seperti itu!” Dina dan Lia tiba-tiba datang. Mereka merupakan sahabat karib Elly dari SD. Lia menceletuk “Elly nggak bakal ngelakuin hal bodoh seperti itu, dia kemarin ke BK karena mau lom..” “Eh, nggak papa kok, ke kantin aja yuk” Potong Elly. Mereka bertiga kemudian berlalu. Geng Siska terbengong melihat mereka pergi.
    Siang ini cuaca mendung, berbeda dengan hati Elly yang panas. Titik air mulai menetes dari Sang Mega Hitam, semakin deras dan deras. Elly berlari ditengah guyuran hujan.
“Aku harus kuat, untuk adik dan bapakku” pikir Elly. “Assalamu’alaikum, mbak pulang” Elly menggigil  kedinginan.

“Eh, Mbak Elly kok basah semua” ujar Dany, adik Elly yang duduk di kelas lima Sekolah Dasar.”Tadi hujan Dek di jalan, eh Tina mana? Kalian sudah makan?” Tanya Elly.
“Tina tidur Mbak, tadi udah makan, pake sayur kangung yang tadi pagi” jawab Dany. Langit masih mendung, Elly melihat keluar jendela kamarnya. Dingin tak dirasakan Elly. Tiba-tiba Hujan turun lagi, lebih deras dari yang tadi. Tes tes, langit langit kamar Elly bocor, tepat diatasku.
“Elly lihatlah kesini, Aku mulai basah.” Gusarku. Elly tak akan mendengar. Tapi tunggu, Dia menoleh ke tempatku. Melihatku dan berjalan kearahku. Menatapku penuh selidik kemudian tersenyum. Dia mengambilku.

“Akhirnya kamu sadar Elly” batinku. Elly duduk di pinggiran kasurnya.
“Assalamu’alaikum.” Sang pahlawan telah pulang, yaps, Ayah Elly.
“Wa’alaikumsalam bapak” Elly meletakkanku. Membukakan pintu untuk ayahnya dan menyiapkan makan. Ayah Elly hanya bekerja serabutan. Namun, dia ingin Elly dan adik-adiknya bisa terus bersekolah. Elly kembali ke kamar dan senyumnya mengembang.
    Hari ini langit tetap mendung, tapi perasaan Elly berubah cerah, tak seperti kemarin. Sampai di sekolah dia langsung menuju ke ruang BK. Geng Siska penasaran, perlahan mengikuti Elly dari belakang.
    “Elly selamat, kamu memenangkan lomba pidato kemarin, ini piala dan hadiahnya” Bu Rani menjelaskan.  Elly terharu, hampir tak bisa berucap apa-apa.
“Terimakasih,Bu” Elly kemudian meninggalkan BK, namun piala Elly dia titipkan, takut kalau-kalau ada geng Siska menghadangnya. Elly keluar dan benar saja ada Siska dan gengnya yang terlihat kikuk karena ketahuan mengikuti Elly. Elly hanya tersenyum kemudian berlalu. Saat Elly melewati lorong sekolah, tiba-tiba speaker sekolah berbunyi “Ditujukan untuk anak-anak kelas sembilan, jam ini juga diharuskan berkumpul di lapangan upacara guna mendapat pengarahan tentang Ujian Nasional”.

“Dina ayo sini, eh Lia mana?” Elly clingak clinguk.
“Lagi cari kripiknya mungkin, hahaha” jawab Dina seenaknya.
    Sore kali ini cerah, Elly menatapku lagi, mengambilku, membuka setiap halamanku. Membaca apa yang pernah dituliskannya di tubuhku. Elly Tersenyum, dia sadar begitu banyak mimpi-mimpi yang Dia tuliskan dulu semasa duduk di Sekolah Dasar. Aku yakin, Elly akan dapat mewujudkannya. Karena apa yang tersirat dari raut muka Elly adalah sebuah tekad yang begitu tulus untuk keluarganya.

    Elly menutupku dan berkata pada dirinya sendiri, “Aku harus bisa, Ujian Nasional bukan hal yang perlu ditakutkan. Toh ini juga pembuktian bukan cuma orang kaya yang bisa. Ujian Nasional murni tentang kemampuan otak siswa, tak bisa dibeli dengan uang. Tak peduli mereka mengejekku apa. Aku harus fokus belajar. Eh iya tips yang diberi Bu Reni tadi mana ya?” Elly mencari sobekan kertas di tasnya “Ini dia” Elly membaca catatan saat pembinaan tadi. Yang paling menarik perhatiaannya adalah “Sistem Kebut Semalam” cara belajar H-1 sebelum UN. Menurut Elly cara itu masih banyak digunakan oleh siswa atau siswi saat menghadapi UN. Elly heran, apakah Ujian Nasional menurut mereka terlalu sepele, hingga melakukan hal itu. Elly hanya tau mereka yang kaya dapat melakukan apapun seenaknya, tapi Elly ingin membuktikan dia pun bisa. Elly membukaku lagi, mengambil ballpoint, lalu menuliskan sesuatu di halamanku yang masih putih bersih “Aku Harus Bisa” coretan dari dalam hati Elly. Aku bahagia mempunyai teman seperti Elly, dari dulu hingga Elly sukses nanti. Walaupun dia tak menyadarinya.  Aku yang lambat laun aku akan terus terpakai dan habis, tapi aku akan senang. Karena yang memilikiku adalah Elly, seorang anak dari keluarga sederhana yang mempunyai semangat luar biasa untuk mewujudkan impiannya.

    “Brakk!” suara pintu tua yang dibanting oleh tangan Elly mengagetkanku. Tak biasanya Elly bersikap seperti itu, bahkan ini pertama kalinya. Elly menghempaskan badannya ke kasur berseprai pink yang hanya satu-satunya dan berlubang di sana sini.
“Hufftt, aku harus tenang” Elly bergumam. Entah apa yang terjadi, akupun bingung dan tak bisa apa-apa hanya berada di pojok ruangan kamar Elly.
“Ana apa to, Nduk?” Suara Ayah Elly yang tetap terdengar gagah meskipun tubuhnya yang mulai tua tak segagah dulu.
“Eh, mboten napa-napa Pak”, Elly berusaha menutupi kegelisahannya.
    Elly tinggal bersama kedua adik dan ayahnya. Ibunya telah meninggal saat melahirkan adik bungsunya. Saat itu Elly masih duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Namun sampai saat inipun setiap malam aku melihat Elly selalu menangis, sambil memeluk foto ibunya. Tak jarang aku mendengar Elly berucap     “Ibu, apa yang harus Elly lakukan”, kemudian Elly terlelap dan bangun pukul setengah tiga pagi, selalu seperti itu. Angin pagi berhembus begitu dingin. Namun, Elly tetap bangun, beranjak dari dipan usangnya dan berjalan perlahan menuju kamar mandi. Sebenarnya, ruangan kecil itu tak layak disebut kamar mandi. Ruangan itu berada di luar rumah. Dinding dari papan itu mungkin akan roboh jika ada angin kencang yang bertiup. Tak ada bak air, apalagi shower atau bathtube. Hanya sebuah ember yang terisi air dari pancuran kecil yang terhubung dengan mata air digunung. “Brr, dingin” gumam Elly. Dia berwudhu, kemudian sholat malam dan kembali menangis. Aku yang dari dulu menemaninya serasa ingin memeluknya  dan berkata “Tenang Elly, ada aku disini bersamamu” tapi aku tak bisa. Hanya bisa melihat dari sini, dari sudut yang sama.
    Elly melirik jam yang terpasang di dinding papan kamarnya. “sudah jam tiga” batin Elly. Dia melepas mukena peninggalan ibunya dan menuju ke dapur. Dapur yang hanya berisi beberapa perlengkapan memasak yang telah usang dan satu tungku untuk memasak. Setiap pagi Elly bangun lebih awal, menyiapkan makanan untuk kedua adik dan ayahnya. Adzan Subuh sayup sayup terdengar, sayur kangkung yang dipetiknya di sawah kemarin juga sudah matang.
“Nduk, ayo subuhan dulu” panggil ayah Elly
“Adik-adikmu dibangunin” lanjut ayahnya. Elly mematikan tungku, membangunkan Dany dan Tina. Mereka sholat subuh berjamaah di rumah karena rumah mereka jauh dari masjid. Kemudian mereka sarapan. Hanya tikar bambu yang menjadi alas duduk ketika mereka makan.
“Tina nggak usah makan, buat Kak Dany aja” canda Dany.
“Walah, aku nanti kelaparan kakak” jawab Tina.
“Bercanda adikku sayang” Dany mencubit pipi adiknya yang chubby itu. Canda tawa kedua adiknya membuat Elly sejenak melupakan kegelisahannya. Tak terasa sinar matahari telah muncul, Elly mengantar kedua adiknya ke sekolah. Kemudian dia berjalan lunglai menuju sekolah. Tak seperti biasanya yang selalu ceria dan riang.
Elly teringat dua tahun lalu, saat Elly baru saja masuk SMP.
Gedung yang begitu megah di mata Elly, telah berdiri kokoh di depannya. Dengan percaya diri, Elly melangkah memasuki gerbang yang di sana terpasang spanduk bertuliskan “Selamat Datang Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2010/2011 di SMP Nusa Bangsa”. Butir-butir air menetes dari matanya yang sedari tadi berbinar. Elly melambatkan langkahnya, berjalan menuju kelas barunya, kelas VII E sambil berucap pelan “Akhirnya aku masih bisa sekolah” Elly sangat beruntung karena prestasinya semasa duduk di bangku sekolah dasar, dia mendapat beasiswa di SMP elite di kecamatannya. Kenangan dua tahun lalu yang tak akan terlupakan.
“Wooy! bocah kampung!” teriak seorang anak perempuan seumuran Elly berambut hitam panjang yang terurai. Lamunan Elly buyar, kemudian menoleh ke belakang. Ternyata Siska dan gengnya telah berdiri di belakang Elly
“Denger-denger kamu kemarin dipanggil guru BK ya? Abis nyolong apa kamu?” ejek Siska, diikuti suara tawa dari teman-teman Siska. Elly mulai bosan dengan semua ejekan dari teman-temannya di sekolah. Elly tak mau berpikir pusing soal itu.
“Apa yang salah dengan orang miskin yang bersekolah disini? Aku juga punya hak” Pikir Elly.
“Hey, kalian jangan seperti itu!” Dina dan Lia tiba-tiba datang. Mereka merupakan sahabat karib Elly dari SD. Lia menceletuk “Elly nggak bakal ngelakuin hal bodoh seperti itu, dia kemarin ke BK karena mau lom..” “Eh, nggak papa kok, ke kantin aja yuk” Potong Elly. Mereka bertiga kemudian berlalu. Geng Siska terbengong melihat mereka pergi.
    Siang ini cuaca mendung, berbeda dengan hati Elly yang panas. Titik air mulai menetes dari Sang Mega Hitam, semakin deras dan deras. Elly berlari ditengah guyuran hujan.
“Aku harus kuat, untuk adik dan bapakku” pikir Elly. “Assalamu’alaikum, mbak pulang” Elly menggigil  kedinginan.
“Eh, Mbak Elly kok basah semua” ujar Dany, adik Elly yang duduk di kelas lima Sekolah Dasar.”Tadi hujan Dek di jalan, eh Tina mana? Kalian sudah makan?” Tanya Elly.
“Tina tidur Mbak, tadi udah makan, pake sayur kangung yang tadi pagi” jawab Dany. Langit masih mendung, Elly melihat keluar jendela kamarnya. Dingin tak dirasakan Elly. Tiba-tiba Hujan turun lagi, lebih deras dari yang tadi. Tes tes, langit langit kamar Elly bocor, tepat diatasku.
“Elly lihatlah kesini, Aku mulai basah.” Gusarku. Elly tak akan mendengar. Tapi tunggu, Dia menoleh ke tempatku. Melihatku dan berjalan kearahku. Menatapku penuh selidik kemudian tersenyum. Dia mengambilku.
“Akhirnya kamu sadar Elly” batinku. Elly duduk di pinggiran kasurnya.
“Assalamu’alaikum.” Sang pahlawan telah pulang, yaps, Ayah Elly.
“Wa’alaikumsalam bapak” Elly meletakkanku. Membukakan pintu untuk ayahnya dan menyiapkan makan. Ayah Elly hanya bekerja serabutan. Namun, dia ingin Elly dan adik-adiknya bisa terus bersekolah. Elly kembali ke kamar dan senyumnya mengembang.
    Hari ini langit tetap mendung, tapi perasaan Elly berubah cerah, tak seperti kemarin. Sampai di sekolah dia langsung menuju ke ruang BK. Geng Siska penasaran, perlahan mengikuti Elly dari belakang.
    “Elly selamat, kamu memenangkan lomba pidato kemarin, ini piala dan hadiahnya” Bu Rani menjelaskan.  Elly terharu, hampir tak bisa berucap apa-apa.
“Terimakasih,Bu” Elly kemudian meninggalkan BK, namun piala Elly dia titipkan, takut kalau-kalau ada geng Siska menghadangnya. Elly keluar dan benar saja ada Siska dan gengnya yang terlihat kikuk karena ketahuan mengikuti Elly. Elly hanya tersenyum kemudian berlalu. Saat Elly melewati lorong sekolah, tiba-tiba speaker sekolah berbunyi “Ditujukan untuk anak-anak kelas sembilan, jam ini juga diharuskan berkumpul di lapangan upacara guna mendapat pengarahan tentang Ujian Nasional”.
“Dina ayo sini, eh Lia mana?” Elly clingak clinguk.
“Lagi cari kripiknya mungkin, hahaha” jawab Dina seenaknya.
    Sore kali ini cerah, Elly menatapku lagi, mengambilku, membuka setiap halamanku. Membaca apa yang pernah dituliskannya di tubuhku. Elly Tersenyum, dia sadar begitu banyak mimpi-mimpi yang Dia tuliskan dulu semasa duduk di Sekolah Dasar. Aku yakin, Elly akan dapat mewujudkannya. Karena apa yang tersirat dari raut muka Elly adalah sebuah tekad yang begitu tulus untuk keluarganya.
    Elly menutupku dan berkata pada dirinya sendiri, “Aku harus bisa, Ujian Nasional bukan hal yang perlu ditakutkan. Toh ini juga pembuktian bukan cuma orang kaya yang bisa. Ujian Nasional murni tentang kemampuan otak siswa, tak bisa dibeli dengan uang. Tak peduli mereka mengejekku apa. Aku harus fokus belajar. Eh iya tips yang diberi Bu Reni tadi mana ya?” Elly mencari sobekan kertas di tasnya “Ini dia” Elly membaca catatan saat pembinaan tadi. Yang paling menarik perhatiaannya adalah “Sistem Kebut Semalam” cara belajar H-1 sebelum UN. Menurut Elly cara itu masih banyak digunakan oleh siswa atau siswi saat menghadapi UN. Elly heran, apakah Ujian Nasional menurut mereka terlalu sepele, hingga melakukan hal itu. Elly hanya tau mereka yang kaya dapat melakukan apapun seenaknya, tapi Elly ingin membuktikan dia pun bisa. Elly membukaku lagi, mengambil ballpoint, lalu menuliskan sesuatu di halamanku yang masih putih bersih “Aku Harus Bisa” coretan dari dalam hati Elly. Aku bahagia mempunyai teman seperti Elly, dari dulu hingga Elly sukses nanti. Walaupun dia tak menyadarinya.  Aku yang lambat laun aku akan terus terpakai dan habis, tapi aku akan senang. Karena yang memilikiku adalah Elly, seorang anak dari keluarga sederhana yang mempunyai semangat luar biasa untuk mewujudkan impiannya.

Oleh: Amilia
SMPN 1 Sumowono

Post a Comment

 
Top